Jumat, 01 Januari 2010

Ikan Air Tawar dan Air Laut Bisa dalam Satu Aquarium

Wah ini kabar baik, pasti banyak orang yang suka, kata Prof Dr Gumilar Rusliwa Soemantri, rektor Universitas Indonesia. Sebagai pencinta koi Gumilar mafhum ikan hias tawar dan laut berbeda habitat. Jika bisa hidup berdampingan jelas luar biasa. Bima Saksono, eksportir ikan hias di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, pun tak pernah mendengar keduanya bisa hidup bersama di satu akuarium.
Untitled-1
Keajaiban itu dihadirkan di Aquarama 2009 oleh produsen pakan dan aksesori akuarium GEX Corporation asal Osaka, Jepang. Di stannya, GEX memajang kotak kaca berukuran 100 cm x 80 cm x 60 cm yang dihuni aneka ikan hias laut dan tawar.
Segerombol ikan badut dan seekor kuda laut Hippocampus sp berseliweran di antara tiga ryukin dan seekor ranchu yang asyik berenang ria di antara koral artifisial bercorak merah dan tanaman air. Sementara ikan hias tawar lain: gurami hias, platy, dan beberapa ekor guppy hilir mudik di dinding belakang akuarium.
Pemandangan kontras seperti ini tak pelak membuat puluhan pengunjung dan peserta pameran Aquarama 2009 dari berbagai negara silih berganti melongok isi akuarium itu. Singkat kata tak ada ucapan lain yang keluar dari mulut mereka selain kalimat luar biasa. Menurut Mulyadi, ahli kimpoi suntik ikan hias di Bandung, Jawa Barat, yang ditampilkan stan GEX itu memang anomali. Wajar stan itu menjadi bintang di Aquarama 2009.

Terobosan ini selangkah lebih maju dibandingkan inovasi serupa pada Aquarama 2007. Ketika itu stan H2O Aquarium dari Singapura juga menampilkan ikan hias laut dan tawar di satu akuarium. Namun, sesungguhnya mereka tetap hidup di dua akuarium berbeda. Pada akuarium laut berukuran 3 m x 1 m itu dibenamkan 3 buah akuarium air tawar. Sepintas ikan laut dan tawar seperti berenang bersama saat dilihat dari bagian depan akuarium.

Dokumen 1971

Menurut Yuichiro Miyauchi, staf GEX, kunci teknologi penggabungan dua jenis ikan hias berbeda habitat itu adalah marine treatment yang dikembangkan oleh Yamamoto Toshimasa, dosen dari Okayama University of Science Specialized Training College. Produk itu berupa bubuk putih yang bisa meningkatkan kadar elektrolit pada air tawar. Elektrolit merupakan zat yang mudah terurai dalam bentuk ion-ion. Salah satu ikatan elektrolit yang terkenal adalah NaCl alias garam.
Miyauchi tak bersedia mengungkapkan duduk perkara bagaimana senyawa dalam bubuk tadi bekerja. Namun, saat Trubus mencoba mencicipi sedikit air akuarium yang diberi oksigen terlarut melalui aerator, terasa agak asin alias payau. Data lain yang bisa terungkap adalah pengaruh pemberian marine treatment yang tertuang di selembar kertas dan ditempel di sisi akuarium. Di sana tertulis: bubuk putih, 2 unsur mineral dalam satu boks, pH 7,2 “ 7,6, salinitas 7 “ 9 ppm, suhu 25?C, dan tidak beracun.
Yang tampak kasat mata, akuarium itu memakai chiller “ pendingin–yang suhunya disetel 25?C dan filter biologis. Tak tampak protein skimmer, pengurai amoniak pada kondisi air asin. Sebab itu Takehito Morimoto, staf lain, menyebutkan air perlu diganti setiap 2 minggu. Kesan misterius itu belakangan menjadi gunjingan ramai di berbagai blog pengunjung pasca “ Aquarama 2009. Contoh Benny Ng asal Singapura. Di blognya Benny memajang foto akuarium itu dan menyisip komentar, ‘Bagaimana caranya?’.
Penelusuran Trubus menemukan fakta mengejutkan. Penyatuan ikan hias laut dan tawar dalam satu akuarium bukan hal baru. Setidaknya itu tampak dari berkas dokumen hak paten yang dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat dengan nomor paten 3683855 pada 1971 atas nama Tronic Product Inc asal negara bagian New Jersey. Di sana diuraikan langkah-langkah pembuatan larutan yang mampu membuat ikan berbeda habitat itu nyaman hidup bersama.
Larutan itu yang dicampurkan dengan campuran air laut dan tawar pada salinitas 12 – 14 ppm. Untuk mendapatkan derajat keasaman sekitar 7,2 – 7,6 seperti terjadi pada akuarium GEX, larutan diberi tambahan 0,75 – 1,5 g garam silikat metal. Silikat metal terdiri atas unsur sodium dan kalium.
Selanjutnya apa yang terjadi di tubuh ikan? Sejatinya cairan dalam tubuh ikan tawar dan laut memiliki salinitas hampir sama meski konsentrasi garam di habitat masing-masing berbeda. Salinitas cairan dalam tubuh ikan laut sekitar 2/5 ppm dari salinitas laut sebesar 33 ppm; ikan tawar 1/5. Agar keseimbangan tekanan terjaga, mekanisme osmosis bekerja di tubuh ikan. Intinya ikan akan mengatur keluar-masuk air di tubuh. Dengan alasan itu pula larutan yang disebut di atas memiliki konsentrasi garam sesuai kisaran salinitas cairan tubuh kedua ikan berbeda habitat, antara 1/5 – 2/5 ppm.
Larutan itu adalah senyawa organik yang terdiri dari bahan etilen glikol dan propilen glikol. Etilen glikol dikenal sebagai cairan tak berwarna, tak berbau, dan berasa manis serta larut dalam air. Senyawa itu merupakan bahan baku utama industri tekstil, cat, kanvas rem, sampai bahan antibeku. Propilen adalah hasil samping dari pembuatan sabun dan lilin. Ia muncul sebagai reaksi dengan asam lemak dan minyak.

Adaptasi

Menurut Prof Dr Suharsono ikan tawar dan laut dapat dipelihara pada satu tempat. ‘Pada ikan laut ini bisa dilakukan pada ikanikan estuarin,’ kata kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI di Ancol, Jakarta Utara. Estuarin merujuk pada ikan-ikan yang hidup di muara sungai. Di sana salinitas lebih kecil sekitar 12 ppm. Di laut salinitas mencapai 33 ppm.
Sebab itu ikan muara seperti bandeng Chanos chanos, ketang-ketang Ogcocephalus radiatus, atau salmon tak sulit hidup meski mereka harus berada di lingkungan dengan salinitas berbeda. ‘Sistem osmoregulasi mereka sudah berkembang baik. Jadi kalau disatukan dalam kondisi payau bersama ikan tawar, ikan estuarin lebih tahan, bahkan tanpa proses aklimatisasi,’ kata doktor bidang ekologi koral dari Departemen Biologi Universitas Newcastle Upon Tyne di Inggris itu.
Namun, pada kasus clown fish dan kuda laut yang dipelihara bersama-sama ikan hias tawar seperti disaksikan di stan GEX kondisinya agak berbeda. Berbeda karena ikan badut dan kuda laut itu murni hidup di laut, sekitar terumbu karang. Tanpa proses adaptasi sulit rasanya bagi kedua ikan itu hidup di kondisi payau. ‘Perubahan salinitas sampai di bawah 26 ppm dapat membuat ikan laut sejati mati,’ kata Suharsono. Satu-satunya cara menggunakan ikan laut sejati hasil budidaya. Mereka lebih adaptif karena telah dikondisikan pada salinitas lebih rendah.
Hal senada disampaikan oleh Dra Kadek Ari yang berhasil membiakkan clown fish dan kuda laut di luar habitat asli pada 2008. ‘Yang bisa hidup pasti ikan hias laut hasil budidaya,’ kata peneliti Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung itu. Foto di stan GEX yang dikirim padanya mengungkapkan hal ini. ‘Dari warna tubuh clown fish, jelas ini hasil budidaya. Warna ikan lebih muda. Ciri lain ikan terlihat akur bergerombol. Di alam tidak seperti itu,’ katanya.
Malah Kadek seperti mengenali ikan badut di akuarium GEX itu. Maklum setelah sukses menangkarkan, Kadek sering mengirimkan ikan badut dan kuda laut ke Jepang. Boleh jadi itu alasan mengapa hanya ikan hias laut clown fish dan kuda laut yang ditampilkan di akuarium GEX. Kedua ikan hias laut itu sudah berhasil dibudidayakan.
Pada ikan hias tawar tak perlu memakai hasil penangkaran. ‘Ikan tawar sebetulnya malah nyaman berada di kondisi payau karena salinitas tubuhnya mendekati salinitas lingkungan,’ ujar Melta Rini Fahmi SPi, MSi, peneliti Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar di Depok, Jawa Barat. Artinya ikan hias tawar hanya cukup diaklimatisasi agar bisa hidup di kondisi sedikit payau. Peluang
Kehadiran teknologi penggabungan ikan hias laut dan tawar itu cukup diminati hobiis. Grigorius Tam dari Yunani, misalnya, berharap dapat membeli produk marine treatment sesudah resmi dilepas di pasaran oleh GEX pada Agustus 2009. Grigorius ingin mencoba sekadar bersenang-senang. ‘Saya punya sebuah akuarium laut di rumah,’ kata pemilik toko perlengkapan ikan hias di Akrapolis itu.
Menurut Jemmy Gunawan di sentra ikan hias Jalan Kartini, Jakarta, teknologi ini memang berpeluang besar disukai hobiis. Pemilik gerai KDC itu merujuk saat ia bereksperimen menggabungkan ikan hias laut seperti balong, kepe-kepe, dan giro pasir, bersama tiga maskoki tossa di akuarium berukuran 60 cm x 30 cm x 20 cm pada 2007. Ini untuk pajangan di tokonya. Hasilnya? Gerai milik Jemmy dibanjiri pengunjung. ‘Mereka senang melihatnya, tapi begitu tahu harga filter yang dipakai sampai Rp80-juta, mereka mundur,’ katanya.
Syarat harga terjangkau diungkapkan oleh Gumilar. ‘Hasil teknologi baru itu akan cepat diterima hobiis bila murah dan ramah lingkungan,’ ujar Gumilar. Pun Cecep Hidayat dari Firda Aquarium di sentra ikan hias Jalan Sumenep, Jakarta Pusat, ‘Kalau harganya murah pasti diminta,’ ujarnya. Toh, inovasi yang ditampilkan oleh stan GEX membuka wawasan bahwa tak ada yang tak mungkin dicoba. Melihat maskoki dan ikan badut berenang bersama di satu akuarium sangat menyenangkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar