Minggu, 20 November 2011

sejarah kalimantan yang telah hilang

The Lost Generation
Awal Tragedi



Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

“Dibalik peristiwa itu ada hikmah. Mungkin kalau tidak terusir, orang Tionghoa akan tetap di pedalaman, dan tidak bisa maju seperti sekarang,” kata Fung Jin.

Begitulah, kalimat yang mengalir dari perempuan paruh baya ini, menanggapi peristiwa pengungsian besar-besaran yang dilakukan etnis Cina di sepanjang perbatasan pada September-Oktober 1967.


Fung Jin tinggal di Pontianak. Usianya 58 tahun. Ketika peristiwa itu terjadi, usianya 21 tahun. Ketika itu, bersama keluarga dan pengungsi lainnya, dia berjalan kaki dari Toho ke Pontianak. Jaraknya sekitar 75 km. Dia berharap, peristiwa itu tak pernah terjadi lagi.

Fung Jin adalah satu dari 70 ribu warga Cina yang mengungsi karena “demontrasi” atau ethnic cleansing, pembersihan etnik yang dilakukan orang Dayak, terhadap orang Cina. Saat itu, sebagian besar etnik Cina hidup di pedalaman dan sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia. Setelah peristiwa itu, mereka menyebar ke berbagai wilayah di Kalbar, Jakarta, Singapura, Hongkong, Taiwan, atau kembali ke Cina Daratan (RRC).

Peristiwa itu berkaitan dengan penumpasan yang dilakukan militer Indonesia, terhadap para mantan anggota Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU).

Keberadaan PGRS-PARAKU tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa konfrontasi yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Peristiwa ini biasa disebut Dwikora. Presiden Sukarno mengobarkan semangat rakyat Indonesia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”, untuk merespon kondisi politik yang terjadi saat itu.

Peristiwa Dwikora terjadi, karena Perdana Menteri Persekutuan Melayu, Tun Abdul Rahman ingin membentuk Negara Federasi Malaysia yang meliputi Semenanjung Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei.

Malaysia yang berada dibawah negara Persemakmuran, segera mendekat ke Inggris. Tun Abdul Rahman menemui Perdana Menteri Inggris, Harold Mc Millan di London, pada Oktober 1961.

Sikap Tun Abdul Rahman membuat AM Azahari meradang. Dia melakukan pemberontakan terhadap Brunei. Azahari mengumumkan berdirinya Negara Kalimantan Utara (NKU), dan pembentukan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Wilayahnya terdiri dari Brunei, Serawak dan Sabah. Pernyataan itu disampaikan di Manila pada 8 Desember 1962

Menurut JAC Mackie, Azhari pemimpin Partai Rakyat Brunei patut kecewa, karena dalam Pemilihan Umum Agustus 1962, dia memenangkan 54 dari 55 kursi di Dewan Distrik dan 16 dari 33 kursi di Dewan Legislatif. Malaysia menuduh Indonesia berada dibalik aksi pemberontakan ini. Namun, hal itu ditepis pemerintah Indonesia, dan tidak merespon masalah ini.

Pemberontakan ini bisa diatasi. Inggris turut campur tangan memadamkan pemberontakan itu. Malaysia menuduh Indonesia berada di balik pemberontakan itu. Hubungan kedua negara langsung tegang.

Pada 31 Mei - 1 Juni 1963, terjadi pertemuan antara Presiden Sukarno dengan Perdana Tun Abdul Rachman di Tokyo. Hal ini bisa meredakan ketegangan sesaat.

Manai Sophiaan berpendapat, untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo, diadakan lagi pertemuan para Menteri Luar Negeri tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari tanggal 7-11 Juni 1963. Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan diadakannya Konperensi Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri Tun Abdul Rahman, Presiden Macapagal dan Presiden Sukarno yang dilangsungkan di Manila dari 31 Juli - 1 Agustus 1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya.

Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan Presiden Macapagal, disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin Sukarno - Macapagal yang menegaskan bahwa Masalah Asia supaya diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri. Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat dan Inggris, karena dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan Federasi Malaysia yang dirancang di London yang sebenarnya untuk meng-contain Indonesia. Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala Lumpur.

Tun Abdul Rachman menandatangani persetujuan dengan pemerintah Inggris mengenai pembentukan Negara Federasi Malaysia, 9 Juli 1963. Dan, pada 31 Agustus 1963, Negara Federasi Malaysia secara resmi akan diproklamirkan.

Kondisi makin memanas, karena pemerintah Filipina juga mengakui Sabah bagian dari wilayahnya. Sultan Sulu di Pilipina, pernah meminjamkan Sabah sebagai pelabuhan untuk perdagangan Inggris.

Pada 16 September 1963, Negara Federasi Malaysia terbentuk. Namun, pada perkembangannya, Singapura keluar dari keanggotaan. Begitu juga Brunei.

Pembentukan Negara Federasi Malaysia membuat Indonesia marah. Pada 17 September 1963, pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur didemo rakyat Malaysia, pada 18 September 1963. Begitu juga Kedutaan Besar Persekutuan Tanah Melayu dan Inggris di Jakarta. Kedutaan Inggris di Jakarta, malah dibakar.

Sejak itu, mulai terjadi konfrontasi Indonesia dan Malaysia yang dibantu Inggris. Presiden Sukarno mengobarkan semangat rakyat Indonesia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Sukarno segera membentuk Dwi Komando Rakyat atau Dwikora. Yang berisi, “Perhebat pertahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan Revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei, memerdekakan diri dan menggagalkan Negara Boneka Malaysia.”

Dalam pandangan Presiden Sukarno, terbentuknya Negara Federasi Malaysia, menjadi legitimasi bagi Inggris untuk “bermain” di wilayah itu, dalam rangka membendung laju pengaruh komunis. Saat itu, Sukarno sedang dekat dengan negara-negara komunis, seperti Soviet dan China. Bahkan, Indonesia juga telah membentuk poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking.

Menurut JAC Makie, terbentuknya Federasi Malaysia yang berada di lingkungan Persemakmuran, membuat Inggris merasa punya kewajiban memberi perlindungan secara militer. Ketika Malaysia baru merdeka, ada 2.000 tentara Inggris dan Australia di sana. Setelah Federasi Malaysia terbentuk, kekuatan militer itu, dengan cepat ditambah menjadi 50.000.

Pembentukan Federasi Malaysia tidak berjalan mulus. Berbagai kekuatan menentang. Di Semenanjung Malaya, Front Sosialis Malaya, terdiri dari Partai Rakyat Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam se-Malaya. Di Singapura, Barisan Sosialis, Partai Pekerja dan Partai Rakyat. Di Kalimantan Utara, Partai Rakyat Brunei dan Serawak United People's Party (SUPP).

Khusus untuk Partai Rakyat Brunei di bawah pimpinan AM Azahari, sejak 1956 sudah mempunyai program, mengusir Inggris dari Kalimantan Utara.

Presiden Sukarno menganggap Inggris dan sekutu terdekatnya, Amerika Serikat merupakan Neo Kolonialis atau Nekolim. Semangat anti penjajahan dan penghisapan yang dimiliki Sukarno, membuatnya ingin mengusir pengaruh Inggris di Malaysia.

Namun, sebagian pihak menilai, konfrontasi terhadap Malaysia adalah “politik pengalihan” Bung Karno atas situasi sosial, ekonomi, dan politik domestik saat itu. Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti dalam tulisannya di Kompas menilai, perekonomian Indonesia sedang sulit, akibat revolusi yang katanya belum selesai. Antara TNI AD dan PKI pun sedang terjadi persaingan. Dalam konfrontasi PKI mendukung Bung Karno, sedangkan ABRI “setengah hati”.

Meski menghadapi kesulitan ekonomi, ABRI memiliki peralatan tempur tercanggih di Asia Timur. Peralatan perang itu dibeli dari Uni Soviet, untuk merebut Irian Barat. Pada masa Trikora (Tiga Komando Rakyat), Soviet mendukung Indonesia. Namun, pada saat Dwikora, Soviet enggan mendukung Indonesia. Soviet berpendapat, karena pengaruh PKI, Indonesia lebih condong ke RRC.

Dalam konfrontasi itu, Malaysia didukung Inggris, Australia, dan Selandia Baru, sebagai sesama anggota Persemakmuran Inggris.

Lie Sau Fat atau XF Asali, budayawan dari Kalbar berkata, ketika peristiwa Dwikora, banyak sukarelawan membantu perang dengan Malaysia. Mereka terdiri dari gerilyawan dan sukarelawan. Para pelarian dari Serawak, pada umumnya etnis Cina dan komunis. Sukarelawan berasal dari Singkawang, Bengkayang dan berbagai wilayah di Indonesia. Mereka terdiri dari berbagai etnis. Ada Melayu, Dayak, Cina di Indonesia dan Cina dari Serawak. Yang merupakan pelarian dari Malaysia, ketika masih dijajah Inggris.

Tahun 1967, Indonesia sudah berganti pemerintahan. Orde Lama dianggap pro komunis, karena ingin menjadi bagian dari poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Beijing. Amerika dan sekutu, membuat perang domino untuk membendung pengaruh komunis menyebar. Maka, Amerika menempatkan pasukan dan menyokong perang Korea. Hingga pecah perang Korea yang membuat Korea terpecah menjadi dua. Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang pro Barat. Di Vietnam, Amerika tidak bisa membendung laju komunis. Bahkan, tentaranya harus hengkang dari Vietnam.

“Nah, karena Malaysia mulai bergolak, sekutu membuat suatu strategi, untuk membendung masuknya komunis,” kata Asali.

Indonesia menerjunkan pasukannya ke Semenanjung Malaya, dan mengirim pasukan untuk menyusup ke berbagai wilayah di Kalimantan Utara. Dengan strategi gerilya, pasukan ini berhadapan langsung dengan pasukan Inggris yang terdiri dari pasukan Gurkha.

Selain melakukan perang langsung dengan Malaysia, Indonesia juga merekrut kelompok perlawanan yang menentang pembentukan Federasi Malaysia. Antara lain dengan pucuk pimpinan TNKU, Azahari, Serawak United People’s Party (SUPP), dan lainnya.

Menurut Soemadi, dalam satu pertemuan di Sintang, 1963, Azahari dan perwakilan dari SUPP bertemu dengan Dr Subandrio, Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Luar Nageri. Hasil kesepakatan, beberapa kelompok perlawanan itu, dilebur menjadi satu dengan nama PGRS dan PARAKU. Kelanjutan dari kesepakatan ini, sebanyak 850 pemuda-pemudi dari Cina Serawak menyeberang ke Kalimantan Barat. PGRS punya wilayah operasi di Sanggau hingga Sambas. PARAKU wilayah operasinya dari Sanggau hingga ke Serawak.

Untuk memenangkan pertempuran melawan Malaysia, PGRS-PARAKU dilatih tentara Indonesia. “Saat itu, kita melatih PGRS-PARAKU untuk dipergunakan membantu memerdekakan Malaysia. Mereka dilatih oleh RPKAD di Bengkayang,” kata Letkol Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura.

Menurutnya, PGRS kebanyakan orang Cina Serawak. PARAKU sebagian besar dari Sabah. Dua kelompok ini ideologinya komunis.

Lalu, kenapa pemerintah RI melatih anggota komunis?

Monday, February 11, 2008
The Lost Generation (2)
Konfrontasi dengan Malaysia

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

“Saat itu, RI memang zaman Orde Lama, dan Bung Karno tidak melarang ideologi komunis,” jawab Letkol Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura. PGRS punya koran. Namanya Lae Tung Po. Isinya berbagai tema tentang gerakan PGRS.

Menurut Edward Tenlima, mantan Danlanud Singkawang 2, Bengkayang, banyak sukarelawan datang dari Malaysia, dilatih secara kemiliteran di Sanggau Ledo, Bengkayang. Setelah itu, mereka kembali ke Malaysia melakukan penyusupan. Sukarelawan itu sebagian besar dari Cina Serawak.

PGRS dilatih di tempat rahasia dan jauh dari perkampungan masyarakat. Alasan pemilihan Sanggau Ledo sebagai tempat latihan, daerah itu pusat pemukiman orang Cina. Seperti, di Piong San dan Sepang.

Dengan cara itu, para sukarelawan yang sudah dilatih, lebih mudah mengajak orang Cina di daerah itu, bergabung menjadi sukarelawan dan melawan Malaysia. Daerah itu juga dekat dengan perbatasan Malaysia sebelah barat. Jaraknya sekitar 43 kilometer.

Kedatangan awal para anggota PGRS ke Sanggau Ledo dibenarkan Thong Fuk Long, biasa dipanggil Tomidi. Dia diminta tentara menjadi penerjemah para gerilyawan. Ketika itu, Tomidi menjadi guru bahasa Indonesia di Sanggau Ledo. Kebetulan, dia menguasai bahasa Mandarin, Belanda, dan Khek.

Pada akhir Desember 1963, ada 31 orang dari Serawak, Malaysia datang ke Sanggau Ledo. Mereka para pentolan PGRS. “Kami mendapat persetujuan dari pemerintah RI, untuk memerdekakan Sabah dan Serawak. Pemerintah minta etnis Cina untuk membantu. Kalau bukan etnis Cina, siapa lagi yang bantu,” kata Tomidy menerjemahkan pembicaraan itu.

Tentara malah meminta seorang fotografer mendokumentasikan kegiatan latihan para anggota PGRS-PARAKU.

“Saya tahu tempat latihan mereka, karena saya ikut tentara dan memotret mereka latihan,” kata Bong Bu Tjin.

Setelah dilatih di Indonesia, mereka dikembalikan ke Serawak. Yang ketika itu ingin memerdekakan diri. Bong kadang ke hutan dan mengikuti berbagai operasi yang dilakukan tentara.

Selain di Sanggau Ledo, ada beberapa tempat yang digunakan. Misalnya Singkawang. “Latihan tidak resmi. Tentu saja supaya bisa perang. Latihan itu selama 15 hari. Senjata tidak diberikan Kodam. Senjata juga tidak lengkap. Maksudnya, tidak satu orang pegang satu senjata,” kata Sarwono WHD, eks Waasintel Kodam XII Tanjungpura.

Menurutnya, setengah dari jumlah anggota PGRS-PARAKU hidup sendiri di tengah masyarakat. Diurusi penuh oleh Kodam juga tidak. Setahu dia, yang urus banyak. Salah satunya dari Biro Pusat Intelejen (BPI). Kepala BPI, Dr Soebandrio, Wakil Perdana Menteri I, merangkap Menteri Luar Negeri.

Ya, maklumlah urusan politik, katanya.

Operasi intelejen khusus tidak ada. Kodam hanya memberikan bahan untuk bergerak. Misalnya, wujudnya latihan yang ikut diproses intelejen. Jadi, intelejen tidak bergerak sendiri. Intelejen lebih didominasi BPI. Saat itu, BPI lebih banyak dikuasai PKI. Yang mendirikan barak-barak di sepanjang perbatasan adalah BPI.

“Kalau yang lewat orang PGRS-PARAKU, mereka yang pakai. Kalau tentara Indonesia yang lewat, ya, mereka yang pakai,” kata Sarwono.

Barak itu ada di sepanjang perbatasan Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Putussibau, Benua Martinus, hingga Badau. BPI bergerak sendiri dan tidak mengikutsertakan Kodam. Cuma, Kodam tetap diberitahu. Ketika itu, BPI bermarkas di garasi rumah orang di Jalan Gajah Mada, Pontianak. Tapi, ia lupa alamatnya.

Selain PGRS-PARAKU, Indonesia banyak merekrut sukarelawan. Mereka dilatih di beberapa tempat. Salah satunya ada di Singkawang. Sebagian besar yang mengurus dari BPI. “Kapan masuknya ke Kalbar juga tidak jelas, karena itu urusan Pusat dan bukan Kodam,” kata Sarwono.

Operasi tentara di perbatasan dipimpin Brigjen Supardjo dari Kodam VII Diponegoro, Jawa Tengah. Dia Panglima Komandan Tempur (Pangkopur) di Kalbar, sepanjang perbatasan.

Brigjen Supardjo sering keliling kampung sendirian, tanpa pengawal. Orangnya ramah pada penduduk kampung. Setiap ketemu masyarakat, dia mau menyapa duluan. Orang kampung juga heran. Ini ada jenderal jalan sendiri tanpa ada yang mengawal.

“Setiap ada orang Cina, bakal dikunjungi. Dia berkawan dengan orang Cina. Orangnya baik sekali. Sering mengajak masyarakat untuk bicara,” kata Durani, warga Dusun Sebol, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang.

Brigjen Supardjo memberikan ultimatum kepada penduduk di Bengkayang, membuat lubang di belakang rumah setiap penduduk.

“Lubang itu berfungsi menghindari bom, bila ada serangan udara,” kata Supardjo.
Satu keluarga satu lubang. Lubang itu berbentuk hurur L. Dalam satu meter, panjang tiga hingga empat meter. Makin banyak jumlah keluarga, makin besar lubangnya.

Perintah membuat lubang di belakang rumah dilakukan serempak bagi warga di sepanjang perbatasan. Syahrir Mochtar dari Putussibau, memaparkan pengalaman yang sama. Setiap rumah diperintah membuat lubang di belakang rumah.

Semasa konfrontasi dengan Malaysia, banyak tentara Indonesia diterjunkan secara langsung ke Semenanjung Malaya. Untuk wilayah Kalimantan Utara, operasi lebih banyak dilakukan melalui jalur darat.

Sungai Kapuas menjadi urat nadi mobilisasi pasukan. Pelabuhan Pontianak, dulu bernama Pelabuhan Dwikora, menjadi pendaratan pasukan dari Jawa. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri sungai Kapuas, menuju perbatasan Malaysia bagian barat.

Semitau dijadikan basis penyerangan ke Malaysia. Jalan darat belum banyak dibuat. Kalau ada pasukan baru datang, mendarat di Semitau. Kodim ada di Semitau. Jarak ke perbatasan lebih dekat dari sungai.

Masa konfrontasi hampir tidak ada perahu Bandong yang berangkat atau datang dari Pontianak. Jalur sungai yang menjadi urat nadi dan jalur utama transportasi masyarakat, menjadi rawan. “Orang tidak berani mengarungi sungai yang kala itu, dijadikan sarana utama bagi mobilisasi pasukan dari Pontianak,” kata Syahrir.

Akibatnya, semua rakyat jadi sengsara. Bahan pokok menjadi susah dan mahal. Bahkan, jatah beras bagi pegawai negeri, baru bisa diambil 6-7 bulan sekali. Sangking sulitnya transportasi.

Malaysia lebih bersikap bertahan, dan hanya berusaha membendung masuknya tentara Indonesia ke Malaysia. Usaha Malaysia dibantu tentara Inggris dan Australia.

AURI menyiapkan 8 Tu-16, 4 P-51, 9 B-25, 2 C-130, 11 C-47, serta 4 Il-14, dinyatakan siap. ALRI juga menyatakan kesiapannya dengan menempatkan ratusan kapal didukung pesawat terbang serta beberapa batalion marinir. Celakanya, kekuatan AURI harus berhadapan dengan AU Inggris dan AU Australia yang melindungi negara persemakmurannya. Kekuatan gabungan Inggris-Australia diduga terdiri dari 50-an bomber, 24 Hawker Hunter, 24 Gloster Javelin, 30 F-86 Sabre, serta 6 skadron pesawat angkut dan 12 helikopter. Belum dihitung skadron rudal Blood Hound serta 2 skadron pesawat siap di Australia. Pertahanan Malaysia makin sempurna dengan dukungan pasukan darat dan laut. Semua terdiri dari 27 batalion, 16 batalion artileri, belasan kapal, serta pasukan Gurkha (Angkasa-online).

“Dalam berbagai pertempuran, tentara Malaysia lebih banyak berada di garis belakang menjaga perbatasan. Yang lebih banyak bertempur adalah, pasukan khusus Gurkha,” kata Halim Ramli, wartawan senior di Kalbar.

Gurkha adalah pasukan bayaran yang dipakai Inggris sejak Perang Dunia Kedua. Mereka orang tangguh dan biasa hidup di pegunungan Himalaya.

Semasa konfrontasi dengan Malaysia, banyak sekali tentara Indonesia meninggal di pertempuran. “Setiap hari ada 3-4 tentara dibawa dengan helikopter dari daerah perbatasan,” kata Jomandi Loka, warga Singkawang.

Saat itu, dia duduk di bangku SMP Singkawang. Setiap hari menyaksikan mayat diangkut ke Rumah Sakit Umum Singkawang (sekarang RS Santo Vincentius, Jalan Pangeran Diponegoro 5 Singkawang).

Karenanya, Taman Makam Pahlawan di Singkawang, isinya sebagian besar tentara dari Jawa. Terutama pasukan dari Kodam VII Diponegoro, Jawa Tengah.

Tak hanya melalui pertempuran, Indonesia juga melancarkan perjuangan secara diplomatik. Ketika Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia keluar dari PBB dan membentuk Conefo (Conference of New Emerging Forces).

Suasana politik makin keruh dengan terjadi peristiwa penculikan terhadap para jenderal di Jakarta, pada 30 September 1965. Sembilan petinggi militer diculik. Peristiwa ini menimbulkan rentetan dan peristiwa kemanusiaan lainnya. Inilah lubang hitam sejarah bangsa Indonesia yang hingga kini masih misteri.

Banyak muncul buku dengan berbagai teori mengenai peristiwa ini. Ada yang menganggap, peristiwa ini pemberontakan PKI. Ada yang berpendapat, rivalitas di tubuh Angkatan Darat. Teori lain, usaha dan kekuatan asing mengakhiri kekuasaan dan politik Presiden Sukarno. Banyak teori bersliweran hingga sekarang. Satu yang pasti, akibat peristiwa ini, ada sekitar 2 jutaan orang dibantai dan meregang nyawa, karena dianggap anggota dan simpatisan PKI.

Peristiwa 30 September berimbas pada tentara di lapangan. “Posisi tentara pada waktu G30SPKI dalam keadaan sulit semua. Siapa kawan dan lawan, tidak jelas,” kata Sarwono. Hal itu tentu sangat rawan bagi jalur komando.

Kodam XII Tanjungpura juga kesulitan mengetahui mana kawan dan lawan. “Setelah itu diketahui Asisten 1, Letkol Langlang Buana dan Asisten 2, Letkol Kestam, termasuk sebagai anggota PKI,” kata Sarwono. Sarwono datang ke Kalbar pada tahun 1963. Dia berasal dari Jawa Tengah.

Hal serupa diungkapkan Edward Tenlima atau Edo. Dia menjadi pilot pesawat Mustang dan berpangkalan Lapangan Udara (Lanud) Abdul Rachman Saleh, Malang, Jawa Timur. Pada 2 Oktober 1965, dia diminta terbang bersama puluhan pesawat tempur lainnya ke Jakarta. Bila sebelum operasi pilot tahu, operasi apa yang akan dijalankan, malam itu dia tidak tahu.

“Pokoknya kenakan pakaian dan terbang,” kata Edo.

Dia terbang menyisir laut utara Jawa. Begitu mendekati udara Jakarta, tiba-tiba mendapat perintah mendarat di Bandung. Selanjutnya, dia harus mengenakan terus baju pilot siap tempur dan berada di samping pesawatnya, menunggu perintah selanjutnya. Hingga sebulan lebih, dia berada di samping pesawat tempurnya. “Pokoknya, harus siap terus. Makan dan tidur tidak boleh jauh dari pesawat,” kata Edo.

Dari empat pilot pesawat Mustang yang ada, hanya dia yang boleh terbang. Alasannya, karena dia dari Ambon. Lainnya dari Jawa dan “dianggap berbahaya.” Dia mendapat perintah langsung dari Leo Watimena, Panglima Pasukan Gerak Tjepat (PGT), sekarang bernama Paskhas. Leo orang Ambon dan dekat dengan Suharto. Laksamana Madya Omar Dhani, Menteri/Panglima AURI, yang menjabat Panglima Dwikora dianggap lebih dekat kepada Presiden Sukarno.

Pangdam XII Tanjungpura yang ketika itu dipimpin Brigjen Ryakudu, juga mengalami kesulitan, mana kawan dan lawan. Semua serba tak jelas.

Pascaperistiwa 30 September 1965, ada pesawat dari Jakarta yang menyebarkan selebaran dari udara di Bengkayang. Isinya, Jakarta dalam kondisi aman. Peristiwa itu terjadi sekitar 1966.

Brigjen Supardjo, Pangkopur di perbatasan dituduh dan dianggap sebagai anggota komunis. Dia ditangkap dan dihukum. Beberapa penduduk perbatasan mengingat pesan yang disampaikan Supardjo, “Nanti pada tanggal 30 September, jangan keluar rumah. Takut kena hujan yang tak bisa diobati,” kata Durani, menirukan ucapan sang Jenderal.

Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno memberikan mandat kepada Jenderal Suharto. Pengalihan kekuasaan ini disebut dengan Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret.

Perubahan kepemimpinan, turut pula memengaruhi kebijakan pemerintah. Konfrontasi dengan Malaysia dihentikan dengan pertemuan di Bangkok, Thailand pada 28 Mei 1966. Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengadakan perjanjian damai pada 11 Agustus 1966.

Perdamaian ini, berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah Indonesia. Juga kepada para tentara dan gerilyawan yang pernah direkrut, untuk membantu konfrontasi dengan Malaysia.


Tuesday, February 12, 2008
The Lost Generation (3)
Yang Terbuang Pascakonfrontasi

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Malaysia, sangat berpengaruh terhadap para tentara dan gerilyawan yang berada di lapangan.

Menurut Bong Bu Tjin, ketika itu ada juga pasukan dari Kodam VII Diponegoro tidak ingin perang berhenti. Mereka melanjutkan operasi di Malaysia dan bergabung dengan pasukan PGRS-PARAKU “Mereka kecewa, karena tentara dari divisi ini paling banyak menjadi korban dari perang dengan Malaysia,” kata Bong Bu Tjin.

Bong banyak kenal tentara dan ikut dalam berbagai kegiatan tentara. Dia jadi fotografer para tentara. Banyak tentara yang cerita padanya. Bong pernah memotret Jenderal Ahmad Yani, Nasution dan Suharto, ketika berkunjung ke Kalbar. Mayjen Suharto adalah Wakil Komando Dwikora. Panglima Dwikora Omar Dhani.

Ketika Indonesia dan Malaysia menghentikan konfrontasi dengan pertemuan dan menghasilkan kesepakatan damai, penanganan sisa anggota PGRS-PARAKU diserahkan kepada kebijakan negara masing-masing.

Begitu juga dengan gerilyawan PGRS-PARAKU yang sebagian besar berideologi komunis. Pemerintah Malaysia mengampuni dan membina para mantan gerilyawan ini.

“Mantan PGRS dibina. Bahkan, ada yang diberi modal, sehingga bisa menjadi pengusaha. Di Malaysia, mereka pakai bintang merah 3,” kata Edo, mantan Danlanud 2 Singkawang di Bengkayang.

Di Indonesia, para anggota PGRS-PARAKU diminta menyerah dan meletakkan senjata. Sebagian ada yang meletakkan senjata. Namun, ada juga yang tidak mau. Mereka kuatir, pemerintah Indonesia bakal menumpasnya, karena ideologinya komunis. Apalagi pada saat bersamaan, ada pengejaran dilakukan terhadap para anggota PKI di Jawa.

Menurut Soemadi, pemerintah menyerukan pada gerilyawan untuk meletakkan senjata dan menyerah. Namun, hanya 99 orang yang menaati. Sedangkan 739 tidak melakukan perintah. Senjata mereka diperkirakan 538 pucuk. Terdiri dari Bren, Sten Gun, Senapan dan pistol.

Sarwono WHD, eks Waasintel Kodam XII Tanjungpura berkata, setelah konfrontasi dengan Malaysia, yang paling berperan masalah politiknya. Pergantian kepemimpinan membuat kebijakan terhadap PGRS-PARAKU juga berubah.

Ironis memang. Ketika Indonesia dan Malaysia konfrontasi, mereka direkrut dan dilatih melawan Malaysia. Begitu kondisi damai. Mereka diburu dan dikejar.
“Yang melatih kita, yang mengejar juga kita,” kata Sarwono.

Akhirnya, para gerilyawan masuk kembali ke hutan. Tentara banyak juga yang menjadi korban dalam pertempuran. Korban terjadi, karena PGRS-PARAKU sudah tahu taktik dan cara perang gerilya yang dilakukan TNI.

Ada suatu taktik dalam perang gerilya, pencegatan biasanya dilakukan di hutan. Di sawah tidak bisa dilakukan penyergapan, karena daerahnya terbuka. Dalam perang gerilya, mereka melakukan penyergapan di gunung. Di gunung biasanya tentara berjalan berpencar. Satu dengan yang lain jaraknya agak jauh. Tujuannya, ketika ada penyergapan, bisa menghindar. Di depan pasukan, biasanya ada penyisiran dulu dilakukan. Ketika di tanah datar, jalannya merapat dan berkumpul. Taktik itulah yang diberikan pada PGRS-PARAKU dalam pelatihan.

Teori ini dibalik oleh PGRS-PARAKU. Ketika tentara berjalan di sawah dan jalannya berkelompok, serta tidak melakukan penyisiran di depan pasukan, PGRS-PARAKU menyerang tentara. Tentara tidak siap dan tidak menduga bakal diserang. Karenanya, banyak tentara terbunuh di persawahan Bengkayang. Bahkan, sekitar 37 tentara dari Siliwangi meninggal semua.

Operasi penumpasan tidak mendapatkan hasil sesuai harapan. Sejumlah operasi yang dilakukan gagal di tengah jalan, karena keburu tercium. Operasi yang dilakukan sering gagal, karena bocor informasinya. Hal ini dirasakan betul prajurit di lapangan.

Idang Supandi, prajurit Kopassus yang ketika itu berpangkat Kopral, sangat merasakan sulitnya operasi. Dia melakukan operasi dalam penumpasan anggota PGRS-PARAKU di Benua Martinus, Kabupaten Kapuas Hulu.

Dalam melakukan operasi, dia selalu menggunakan pasukan kecil. Tujuannya, supaya bisa bergerak lebih cepat. Sulitnya medan operasi dan komunikasi yang selalu bocor, membuat operasi tidak menunjukkan hasil maksimal. “Kita seperti main kucing-kucingan. Ketika ada informasi musuh ada di salah satu bukit, begitu kita kejar sudah tidak ada. Selalu begitu,” kata Idang.

Kebocoran informasi terjadi karena ada sebagian anggota BPI pro komunis. Selain itu, penumpasan mengalami kesulitan, karena anggota PGRS-PARAKU kebanyakan orang Cina. Yang merupakan komunitas etnis tersendiri, dan punya bahasa sendiri. Sehingga intelegen tidak bisa masuk.

Perkembangan politik pascaperistiwa G30SPKI, sangat tidak menguntungkan gerilyawan. Apalagi dengan perdamaian antara Indonesia dan Malaysia. Karenanya, penumpasan gerilyawan PGRS-PARAKU di Kalbar, menurut Soemadi, punya empat kerangka besar. Pertama, dalam rangka pemulihan kembali hubungan Indonesia dan Malaysia. Kedua, dalam rangka pemulihan ketertiban dan keamanan umum. Ketiga, dalam rangka pembersihan G30SPKI, serta dilarangnya PKI dan Komunisme atau semua faham Marxisme-Leninisme-Maoisme, termasuk pelarangan semua organisasi pendukungnya. Keempat, dalam rangka pelaksanaan Doktrin Hankamnas dan Doktrin Perjuangan ABRI. Apalagi dengan keluarnya Surat Rahasia Pangkolaga No. R-33/1967 tertanggal 17 Februari, tentang pelaksanaan “security arranggement on the border regions” yang memuat, pertama; penyusunan dan pembentukan Komando Perbatasan. Kedua, Pengendalian Operasionil langsung dibebankan kepada Koandakal cq. Kodam XII Tanjungpura.

“Setelah tahun 1965, PGRS bongkar senjata dan lari ke hutan. Sebelumnya mereka memang diajari berbagai taktik perang oleh tentara Indonesia. Ada taktik perang gerilya, melakukan penyusupan dan lainnya,” kata Edo.

Yang dimaksud Edo adalah peristiwa penyerangan gerilyawan PGRS-PARAKU terhadap Lapangan Udara (Lanud) 2, Singkawang di Bengkayang.

Edo mantan pilot pesawat Mustang. Ia hampir meninggal dunia, karena pesawat Mustang yang dipilotinya mengalami kerusakan mesin, setelah lepas landas di Pangkalan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur. Di seluruh dunia, sebagian besar pilot pesawat Mustang yang jatuh, bakal meninggal. Karena radiator pesawat ada di bawah tempat duduk pilot.

Ketika mengalami kecelakaan pesawat, Edo sempat dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Setelah sembuh, dia tak pegang pesawat tempur lagi. Dia ditempatkan sebagai pasukan biasa di AURI. Dia ikut operasi penumpasan PGRS-PARAKU pada 1967-1969, dan tergabung dalam Operasi Samber Kilat. Gabungan pasukan dibubarkan seiring dengan penghentian operasi yang dilakukan militer. Setelah itu, dia ditempatkan sebagai Danlanud 2 Singkawang, pada 1970-1972 dan 1972-1974.

Menurut Edo, Lanud Singkawang 2, dibangun pemerintah Belanda pada 1939. Tujuannya, menghadapi invasi Jepang. Belanda membangun pangkalan di Sanggau Ledo, karena letaknya dekat dan menghadap Laut Natuna. Jadi, strategis untuk mendukung secara persenjataan.

Pangkalan dilengkapi dengan landasan pesawat terbang. Panjang landasan 900 meter. Landasan terbuat dari pengerasan batu. Dasarnya cukup kuat. Bagian atas landasan berupa rumput. Landasan dibuat untuk ukuran pesawat saat itu. Seperti, B25, B26, Dakota. Saat itu, hanya ada satu pesawat yang pernah uji coba.

Ketika pangkalan belum siap dan belum ada kekuatan militer yang masuk, tentara Jepang keburu masuk ke Indonesia. Pembangunan pangkalan tidak dilanjutkan. Belanda sudah kalah dengan Jepang.

Setelah Jepang kalah perang, fungsi pangkalan dikembalikan sebagai pangkalan pendukung oleh pemerintah Indonesia. Dulu, hanya ada seorang perwira berpangkat Mayor sebagai Komandan Lanud. Sekarang ini, ada dokter dan perwira lainnya.
“Pangkalan Singkawang 2 merupakan pangkalan kecil. Karena ada peristiwa PGRS, namanya menjadi naik,” kata Edo.

Di pangkalan ada gudang senjata berukuran 5 kali 10 meter. Temboknya terbuat dari beton setebal 30-40 cm. Ada penutup pintu besi setebal satu inchi. “Dibom pun, gudang itu tak akan runtuh,” kata Edo.

Pada 16 Juli 1967, gudang senjata diserbu gerilyawan PGRS yang dipimpin Lim A Lim. Ketika itu, hanya ada empat orang yang menjaga. Memang ada peraturan, pasukan tidak boleh membawa senjata ke rumah, dan harus diletakkan di gudang senjata.

Sistem jaga 24 jam. Pergantian bisa pagi dan sore. Sekali jaga ada empat orang dan 24 jam nonstop. Penyerangan terjadi pada hari Minggu, menjelang pagi. Saat kondisi penjaga sudah mengantuk.

Ada tiga anggota AURI tewas. Sekitar 150 pucuk senjata dirampas dan ribuan amunisi dibawa gerilyawan. Senjata yang dirampas antara lain, LE, senjata peninggalan perang Dunia ke II. G3, senjata otomatis, dan lainnya. Setelah gudang senjata dibongkar, komandan pangkalan langsung diganti. Setelah itu, dikirim pasukan tambahan dari Jakarta.

“Mereka tidak menyangka, pasukan PGRS akan menyerang, karena selama ini mereka adalah kawan dan pernah dilatih tentara,” kata Edo.□ (bersambung)

Wednesday, February 13, 2008
The Lost Generation (4)
Operasi Tempur

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Setelah peristiwa pembobolan gudang senjata di Lanud 2 Singkawang, Bengkayang, dimulai operasi besar-besaran menumpas PGRS-PARAKU.

Sulitnya medan membuat pengiriman perbekalan dan logistik dilakukan dengan berbagai cara. Pengiriman perbekalan dilakukan melalui jalur darat, udara dan air.

Bila medannya sulit, perbekalan dikirim dengan pesawat udara. Caranya, menerjunkan dengan payung udara. Perbekalan juga didatangkan lewat sungai.


Lalu, bagaimanakah cara militer menanggani para gerilyawan ini?

“Dalam operasi militer, ada operasi tempur dan operasi teritorial,” kata Letkol (Pur) H. Zaenal Arifin, eks Komandan Batalyon 402 Sintang. Terakhir, Zaenal adalah pejabat Bupati di Ketapang.

Zaenal pernah melakukan operasi pertempuran Trikora di Irian Jaya dan Permesta di Manado. Di Permesta lebih sulit operasinya, karena para pemberontak dibantu Amerika Serikat. Senjata yang dimiliki Permesta lebih canggih dan modern. Bahkan, Amerika juga mengirim para penerbangnya. Salah satunya yang pesawatnya tertembak di sana. Penerbang pesawat itu bernama Allan Lawrence Pope dan sempat menjadi tawanan pemerintah RI.

Ketika bertugas di Kalbar, Zaenal berpangkat Mayor. Menurutnya, dalam ketentaraan dibagi menjadi beberapa pasukan. Ada regu, terdiri dari 11 orang. Satu Peleton terdiri 26 orang. Satu Kompi terdiri dari 100 orang. Satu Batalyon terdiri dari 500 orang. Sebagai komandan batalyon, ia melatih dan memperbaiki kemampuan batalyon yang dipimpinnya. Setelah itu, mengirimkannya ke daerah perbatasan, untuk menghadapi pemberontakan PGRS-PARAKU. Senjata yang biasa dipakai oleh PGRS-PARAKU adalah lenvit.

Batalyon yang dipimpinnya terdiri dari 3 Kompi Tempur dan 1 Kompi Markas. Markas Kompi ada di Sintang. Kompi A dan Kompi Markas berada di Sintang. Kompi B di Sanggau. Kompi C ada di Nanga Pinoh. Belum ada jalan darat yang memadai. Semua perbekalan dan operasi dilakukan melalui jalur sungai.

Perjalanan dari Sintang ke Sanggau, sekitar 12 jam dengan perahu, karena dari hulu. Kalau dari Sanggau ke Sintang, sekitar 24 jam, karena ke hulu. Dari Sanggau ke Balai Karangan, sekitar 48 jam atau dua hari. Biasanya bermalam di Kembayan.

Masalah transportasi merupakan hambatan bagi tentara, sehingga tidak bisa bergerak cepat. Selain itu, ada sarana komunikasi radio. Setiap kompi ada radio.

Sebagai komandan, dia punya prinsip dasar. Seorang Komandan Batalyon dikatakan komandan, kalau dia punya pasukan cadangan. Misalnya, dalam suatu pertempuran, tiga kompi tidak boleh ditaruh di depan semua. Harus ada satu kompi cadangan di belakang yang langsung dipimpinnya. Bagaimanapun, ada sesuatu yang harus dijaga.

Kondisi medan di sekitar Sambas, Bengkayang hingga Sanggau, berbukit dan hutan lebat. Daerah ini dikuasai oleh PGRS. Kondsi medan di sekitar Lanjak, Benua Martinus hingga Putussibau, hutan lebat dan penuh rawa. Daerah ini dikuasai oleh PARAKU.

Dalam doktrin yang dijalankan, Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Hamkamrata), tentara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Di mana operasi dilakukan, tentara harus merangkul rakyat. Apalagi, tentara kebanyakan didatangkan dari Jawa. Karena itu, mereka minta bantuan pada masyarakat lokal, daerah mana yang bisa digunakan untuk jalur jalan. Kebetulan wilayah operasi yang dijalankan, sebagian besar terdiri dari orang Dayak. Mereka tahu bahasa Indonesia. Kalaupun tidak mengerti, mereka pakai bahasa isyarat.

Zaenal merasakan kondisi operasi sangat sulit. Apalagi dengan kondisi medan dan peralatan yang terbilang sederhana. Semua itu menjadi kendala tersendiri. Bila daerah itu tak bisa ditembus melalui radio komunikasi, mereka menggunakan surat.

Perjalanan tidak bisa diukur dengan ukuran waktu. Isi surat biasanya suatu informasi kepada kompi terdekat, untuk melaksanakan operasi ke tempat tertentu.

Penduduk dijadikan kurir. Supaya surat sampai dengan cepat, ada tanda tertenti di amplop. Misalnya, ditempelkan daun atap atau daun nipah. Daun nipah biasa digunakan untuk membuat atap rumah. Maksudnya, biar hujan sekali pun, si kurir harus jalan terus. Juga ditempelkan korek api. Api adalah simbol penerangan. Artinya, biar malam, jalan terus.

“Kalau kita menggunakan kurir rakyat biasa, harus ada dua tanda itu diamplop suratnya. Dua tanda itu, berarti kilat khusus,” kata Zaenal.

Misalnya dari Balai Karangan ke Sekajang. Jarak itu butuh waktu satu hari satu malam. Pengiriman surat secara estafet. Masing-masing oleh dua orang.

Pengiriman surat dilakukan karena ada informasi akurat yang harus disampaikan. Surat menggunakan bahasa khusus dan kata sandi, sehingga tidak mudah dibaca orang. Tulisannya sulit dibaca dan dicerna orang lain. Juga pakai nama samaran. Zaenal punya nama samaran, Harum. Ada kesepakatan dengan para kepala komandan Kompi.

Untuk mengangkut perbekalan, biasanya mengupah penduduk setempat. Caranya dengan memberi makan. Kalau tidak bisa melalui air, perbekalan akan dijatuhkan melalui udara. Namun, pengiriman lewat udara, kadang merusak barang yang dikirim. Bila ada barang rusak, dia melaporkan ke markas Kodam XII Tanjungpura. Kodam segera mengganti perbekalan itu. Perbekalan biasanya untuk satu bulan. Dalam sehari, satu prajurit biasanya menghabiskan beras 500 gram. Dalam batalyon ada 500 orang. Tinggal mengalikan saja.

Saat itu perbekalan minim. Peralatan seperti sepatu, kadang tidak pakai alas kaki. Bisa juga cuma pakai sendal jepit. Pergerakan pasukan terkadang harus melewati jalan berlupur setinggi lutut. Sulitnya medan membuat sepatu yang dipakai tertinggal di lumpur.

Persenjataan masih sederhana. Ada beberapa tipe senjata. Bren otomatis, AK-47. LE, atau Sten. Operasi pasukan tidak menggunakan persenjataan berat, seperti meriam. Kondisi medan tidak memungkinkan. Pasukan pakai senapan praktis dan otomatis, sehingga mudah dibawa.

Menurut pengalamannya, tidak ada yang berat-berat sekali. Sebagai komandan, dia di belakang pasukan. Operasi penumpasan berhadapan dengan pasukan kecil. Karenanya, menggunakan pasukan kecil. Yang berat adalah jalan menuju ke tempat operasi. Hutan lebat, bukit dan rawa.
Operasi paling berat di Bungpatung dan Benua Martinus. Bungpatung hutannya lebat. Jalan juga sulit ditembus. Benua Martinus hutan lebat dan berawa.

Ancaman lain adalah malaria. Dia pernah terkena malaria tropika. Pada jam tertentu, kepala rasanya berdenyut keras sekali. Dia pernah membentur-benturkan kepala dengan keras ke tembok, sangking tak kuat menahan rasa denyutnya.

Sebagai Komandan Batalyon, Zaenal melakukan berbagai operasi penumpasan hingga ke Bengkayang. Suatu ketika, pasukannya bergerak dari Balai Karangan ke Bungpatung. Di Bungpatung bergabung dua batalyon. Batalyon 642 Sintang dan Batalyon 641 Singkawang. Dua batalyon itu dibawah komando Zaenal.

Dalam operasi di Gunung Brambang, dua batalyon ini berhasil menembak mati salah satu pemimpin PGRS-PARAKU bernama Yap Chung Ho. Yang merupakan salah satu pimpinan gerilyawan.

Sempat terjadi kontak senjata sebelum ditembak. Pertempuran terjadi pada siang hari. Selesai pertempuran, ada laporan dari anak buah, Yap Chung Ho tertembak. Zaenal segera memberi perintah, untuk membuktikannya. Dari lokasi pertempuran ke tempat Zaenal cukup jauh. Perjalanan sekitar enam jam jalan kaki. Jenasah Yap Chung Ho dibawa ke markasnya. Jenasah sampai pada pukul 19.00 wib.

Bersama jenasah Yap Chung Ho, dibawa juga berbagai dokumen dan barang. Setelah itu, Zaenal minta pada anak buahnya, memasang kaca mata dan pakaian pada sang mayat. Setelah yakin dan sesuai dengan yang ada di foto, Zaenal segera melapor ke Kodam XII Tanjungpura. Selepas itu, Kodam menyiarkannya melalui radio.

Setelah berhasil menangkap Yap Chung Ho, Zaenal diijinkan turun ke Pontianak. Pasukannya diganti dengan pasukan dari batalyon lain. Pergantian pasukan biasanya setiap setahun sekali. Semua pasukan lama akan diganti dengan pasukan yang baru

Thursday, February 14, 2008
The Lost Generation (5)
Operasi Teritorial

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Selain operasi tempur, ada operasi teritorial. Operasi teritorial adalah, operasi penaklukan tanpa peperangan.

“Ini lebih kepada perang psikologi. Yaitu, bagaimana membuat suatu pendekatan pada masyarakat,” kata Zaenal.

Operasi teritorial bertujuan, supaya masyarakat percaya dan membela operasi yang dilakukan tentara. Caranya bermacam-macam. Dengan memberikan penerangan kepada masyarakat, dan berusaha melakukan pendekatan yang efektif.


Jadi, pasukan tempur, selain bisa bertempur, harus bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat. Misalnya, PGRS-PARAKU itu apa, datangnya dari mana, tujuannya apa, dan lainnya. PGRS-PARAKU bukan warga negara RI.

“Hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa perlawanan pada diri warga kepada PGRS-PARAKU,” kata Zaenal.

Kemudian, tentara juga mesti menjelaskan posisi tentara. Selain itu, mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan operasi. Masyarakat bertugas sebagai penunjuk jalan, kurir, ikut dalam pertempuran, dan lainnya.

Operasi teritorial bertujuan memisahkan massa dengan PGRS-PARAKU. Sehingga massa yang telah berpihak pada tentara, bisa digunakan untuk menghantam lawan. Itulah yang dinamakan, gerilya harus dilawan dengan antigerilya. Tidak bisa gerilya dilawan dengan perang konvensional.

Operasi teritorial juga dilakukan dengan memberikan berbagai kebutuhan penduduk. Tentara membuat pasar bulanan untuk penduduk. Sebulan sekali memberikan kesempatan pada pengusaha, untuk menggelar daganganya. Lokasinya berada di sepanjang perbatasan. Seperti di Nanga Merakai, dan lainnya. Barang dagangan antara lain, beras, kopi, gula, tembakau, dan lainnya.

Zaenal Arifin malang melintang di berbagai pertempuran dan pengejaran terhadap anggota PGRS-PARAKU di Sintang, Sanggau dan Bengkayang. Selama menjadi komandan tempur dan melakukan operasi teritorial, ia bisa menemukan kata mutiara, bagaimana menarik simpati warga kepada tentara, supaya bisa dimanfaatkan melawan PGRS-PARAKU.

Ada lima P. Pertama, pendekatan. Melakukan pendekatan pada masyarakat dan tidak boleh menjauhinya. Kedua, pengenalan. Setelah dekat, baru ada pengenalan. Mengenalkan diri, negara, dan rakyat. Tujuannya, supaya bisa menghantam lawan. Setelah pengenalan, tentu ada suatu kesamaan. Ketiga, penyatuan. Integrasi antara tentara dan masyarakat dengan adanya penyatuan. Keempat, pembinaan. Tindaklanjutnya, diadakan pembinaan terus menerus kepada masyarakat, dan jangan sampai terputus di jalan. Kelima, pemantapan. Sikap yang sama antara tentara dan masyarakat, untuk menghancurkan lawan.

“Lima hal dalam pelaksanaan operasi teritorial tersebut, tenyata sangat mujarab dalam melaksanakan operasi tempur,” kata Zaenal.

Martin Blumenson dan James L. Stokesbury, dalam Master of The Art of Command, memberi satu contoh bagus penaklukan tanpa peperangan di Maroko. Yang ketika itu dikuasai Perancis. Jenderal George S Patton, Jr, merupakan jenderal dalam berbagai peperangan besar semasa perang Dunia II. Pada November 1942 – Maret 1943, dia melakukan tugas berbeda. Tidak melalui pertempuran, tapi dengan cara politis dan diplomatis. Dia mengandalkan kegemilangan dan pertunjukkan seremonial, serta manfaat peristiwa kemasyarakatan. Tidak ada tempat lain, dimana ia mempertunjukkan dengan lebih baik keberadaan dan daya tarik sosialnya, serta kegemilangan pribadinya, untuk kepentingan diplomasi, selain di Maroko.

Patton merasa, bukanlah tugasnya untuk menaruh perhatian pada masalah-masalah politik, sosial, rasial, dan keagamaan di Maroko. Ia memandang tugasnya sebagai kewajiban untuk menjaga ketertiban dan stabilitas di negeri itu, sehingga kekuatan militernya tidak perlu terlibat pada apa yang dipandangnya sebagai suatu missi perubahan. Kekuatan bersenjata Amerika di Maroko, bukan untuk mengubah bentuk negara, memperbaiki keadaan sosial, atau mengganti hukum yang mengekang. Tetapi untuk siap dan berperang melawan musuh.

Dalam pandangan Zaenal, selain menggunakan cara lima P, untuk memisahkan masyarakat dengan PGRS-PARAKU pada perang antigerilya, juga menyingkirkan para suplier pemasok kebutuhan gerilyawan.

Bagaimana cara memisahkannya?

Kenyataannya, anggota PGRS-PARAKU hidupnya tidak bisa dipisahkan dengan para suplier di perbatasan. Cara untuk memutus suplai ini, orang Cina yang ada di perbatasan harus dipindahkan.

“Kenyataannya mereka ini memang membantu. Tanpa bantuan, tak mungkin bisa bertahan lama para PGRS-PARAKU ini,” kata Zaenal.

Kondisi masyarakat Cina di perbatasan ketika terjadi operasi penumpasan PGRS-PARAKU memang serba sulit. Ibarat buah simalakama. Dimakan ayah mati. Tidak dimakan, ibu yang mati. Ketika para gerilyawan datang minta makan dan berbagai kebutuhan pangan, mau tak mau mereka harus memberikannya. Kalau tidak memberikan, nyawa mereka terancam. Nah, kalau memberikan makanan, dianggap membantu pergerakan mereka. Sehingga dimusuhi tentara.

Hal ini pernah terjadi pada XF Asali. Saat itu, dia menjabat sebagai kuasa direktur CV Sinar Kapuas di Pontianak. CV ini bergerak di ekspor dan impor beras, gula dan kopra. Sekarang ini, nama CV tersebut berubah menjadi Bumi Raya.

Sebagai pedagang, dia tentu tidak bisa melarang pembeli. Atau, bertanya pada pembeli, bakal dibawa ke mana beras atau gula tersebut. Kalau dibawa ke perbatasan, tidak diperbolehkan. Hal itu, tentu saja tidak bisa dilakukan.

Asali pernah didatangi tentara dan diinterogasi.
“Kau ini pendukung komunis, ya?”
“Tidak ada, Pak.”
“Tidak ada. You punya karung beras sampai di perbatasan.”

Kondisinya serba salah. Ketika beras dan gula sampai di perbatasan, bukan berarti dia menjadi pendukung para gerilyawan. Toh, pembeli berhak membawa ke mana pun, barang yang mereka beli.

Lalu, bagaimana cara memutuskan logistik dan memindahkan masyarakat Cina dari daerah perbatasan?

“Caranya menciptakan supaya orang Dayak melawan Cina. Ini ada suatu cara dan tidak bisa saya sebutkan, karena saya tidak tahu. Ini dari Kodam,” kata Zaenal.

Menurutnya, orang Cina dan Dayak yang hidup di perbatasan, punya kesamaan cara hidup dengan orang PGRS-PARAKU. Mereka sudah lama saling berinteraksi. Dari segi makanan dan berbagai kebiasaan, ada kesamaan.

Masalahnya adalah, bagaimana memisahkan orang Cina dan Dayak. Karena ada semboyan, siapa yang bisa menguasai massa, mereka akan menang. Karena itulah, diadakan suatu usaha, memisahkan antara orang Cina dan Dayak.

Dibuatlah suatu cara menciptakan sifat permusuhan. Dengan bahasa sederhananya, bagaimana supaya orang membenci Cina. “Caranya tidak tahu, karena ini operasi intelejen. Dan bukan bidang saya menjelaskannya,” kata Zaenal.

Operasi intelejen berbeda dengan operasi tempur. Tanpa pertempuran, tapi bisa menciptakan pergolakan. Semuanya tidak langsung. Operasi intelejen dilakukan dengan cara menghembuskan permasalahan, sehingga masyarakat menangkap isu itu. Dengan munculnya isu, timbul rasa tidak aman. Sehingga orang merasa tidak aman dan meninggalkan tempat tinggalnya.

Akibat tidak aman, ada pihak memanfaatkan kondisi. Misalnya, kampung yang sudah ditinggalkan, barangnya dijarah dan diambil. Atau, orangnya belum pergi, tapi barangnya dijarah dan dirampok. Akhirnya, berita itu merembet ke berbagai tempat. Orang yang mendengar langsung ikut mengungsi.

Saat itu yang memimpin operasi intelejen adalah Mayor Romli. Sekarang sudah meninggal. Jabatan terakhir sebagai Wakil Asisten Intel (Waasintel) Kodam XII Tanjungpura. Pangkat terakhir Letnan Kolonel.(bersambung

Friday, February 15, 2008
The Lost Generation (6)
Derita Warga Perbatasan

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Di mana pun daerah yang dijadikan basis operasi militer, penduduk selalu mengalami kesusahan. Mau tak mau, mereka harus membantu operasi yang tentara jalankan. Bila tidak, mereka bakal susah sendiri. Atau, malah dianggap mendukung musuh tentara atau negara. Begitu juga warga di pedalaman Kalbar, ketika daerah mereka dijadikan daerah operasi tentara.

Selain direkrut untuk menggempur PGRS-PARAKU, penduduk lokal juga ditugasi mengangkut beras, dan perbekalan. Istilahnya sebagai patok atau ngambin. Mereka juga dijadikan kurir. Imbalannya cuma makan saja.


Seorang penduduk dari Dusun Sebol, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang, menuturkan pengalamannya semasa ikut tentara.

Namanya Durani, 79 tahun. Durani ikut tentara karena ditunjuk oleh kepada desa. Selama ikut tentara, dia tidak digaji. Hanya dapat makan saja. Padahal, dia sudah punya empat anak. Durani ikut tentara selama satu tahun. Dia bertugas sebagai penunjuk jalan, bawa barang dan memanggul senjata.

Setiap desa diwajibkan mengirim warganya. Bahkan, setiap rumah harus ada satu orang menjadi wakil, untuk membantu tugas tentara. Kalau orang tua di rumah tak bisa berangkat, anaknya mewakili. Tiap kepala kampung wajib mengirim warganya.

Mereka bertugas sebagai pemandu dan penunjuk jalan. Juga wajib menjadi pembawa barang. Sekali bawa sekitar 30 kilogram. Tak hanya itu, mereka juga harus ikut menumpas PGRS-PARAKU. Masyarakat membawa tombak dan mandau.

Kenapa warga membantu tugas tentara?

“Karena PGRS-PARAKU memberontak terhadap pemerintah Indonesia,” kata Durani. Karena dianggap memberontak, masyarakat bergerak dan menumpas pemberontakan PGRS-PARAKU. Masyarakat berpendapat, barang yang diseludupkan ke hutan, untuk dibawa ke Tionghoa dan digunakan melawan pemerintah Indonesia.

“Itulah yang dilakukan PGRS-PARAKU,” kata Durani.

Penduduk di daerah itu serba salah. Orang yang tidak mau ikut PGRS-PARAKU, akan diculik, dibawa ke hutan dan dibunuh. Kalau tidak mau membantu tentara, dianggap anggota PGRS-PARAKU atau kaum komunis.

Pertama kali ikut tentara, Durani menjadi penunjuk jalan. Dia dianggap mengetahui dan menguasai seluk beluk hutan di sana. Selain penunjuk jalan, Durani juga membawa barang. Beratnya berkisar 10-20 kilogram. Dalam setiap operasi yang dilakukan, biasanya satu Regu, 11 tentara didampingi 8 penduduk lokal. Bila jumlah tentara satu Kompi, 100 tentara, didampingi sekitar 50 orang kampung. Setiap kampung ada posko dan diisi satu Peleton, 26 tentara.

Setiap jalan dengan tentara, waktunya bisa seminggu hingga beberapa bulan. Setelah itu, baru pulang ke kampung. Selama di perjalanan, orang kampung biasanya berjalan paling depan.

“Karena Tuhan adil, kami selamat,” kata Durani.

Sebagai penunjuk jalan, Durani tahu betul, daerah yang pernah dilewati orang atau tidak. Salah satu cirinya, kalau ada jejak babi banyak, berarti tidak dilewati atau tidak ada manusia.

Setelah lama ikut tentara, Durani boleh membawa senjata otomatis laras panjang. Seperti, AK 47. Senapan serbu legendaris buatan Rusia ini, memiliki 30 peluru tiap magazine. Namun, dia lebih senang membawa senapan lantak.

“Lebih ringan,” katanya.

Senapan lantak sekali isi, sekali tembak. Bubuk mesiu dari cendawa. Yang terdiri dari garam Inggris, belerang dan kayu Lempung yang dibakar. Ramuan itulah yang digunakan sebagai mesiu. Sebagai peluru, digunakan gotri. Akibat sering menggunakan senapan lantak, telinga Durani sudah berkurang kemampuannya. Ia menggunakan alat bantu pendengaran, sekarang.

Melihat ada penduduk lokal ikut berperang dengan tentara, biasanya para gerilyawan menghindari konfrontasi dan masuk ke hutan. Malam-malam mereka lari. Dia pernah bertempur langsung dengan pasukan PGRS-PARAKU. Kalau ada anak atau perempuan tidak akan dibunuh. Mereka akan dipungut anak atau diasuh.

Selama ikut operasi tentara, berbagai pengalaman pernah dijalani. Banyak tentara yang tewas dalam operasi. Pernah ada tentara dari Kompi D Siliwangi, habis. Hanya ada dua orang yang selamat. Truk pengangkut tentara hangus terbakar. Tak hanya tentara. Juga polisi. Ada satu polisi ditembak di Jelantang. Senjatanya diambil.

Banyak juga pasukan kena ranjau gerilyawan. Ranjau berupa lubang tertutup semak dan dedaunan. Di lubang itulah, beberapa bambu runcing dipancang tegak ke atas. Bila ada yang terperosok dalam lubang. Paha akan tertancap bambu runcing tersebut.

Akibatnya, pasukan bergerak lambat, karena ada anggota yang harus ditandu. Dan bagian orang kampung bertugas menggotong tentara yang menjadi korban. Durani pernah membawa pasukan terkena ranjau. Berjalan tengah malam hingga pagi dalam kondisi hujan.

Pengalaman yang sama, pernah dialami Abin, 76 tahun. Dia pernah ikut tentara selama beberapa bulan. Suatu ketika, ada pasukan terkena lubang ranjau. Bersama seorang penduduk, dia bertugas memikul tentara dengan tandu.

Tandu terbuat dari dua kayu. Dia dan rombongan pasukan berjalan dari pukul 6 sore hingga pukul 4 pagi. Dalam kondisi di tengah hutan, hujan dan tidak makan. Tidak boleh bawa senter, karena mudah diketahui musuh.

“Zaman itu sakit, lalu,” kata Abin, “namanya juga diperintahkan, terpaksalah.”

Begitu juga dengan Nasir, 56 tahun, warga Dusun Mulo. Dia ikut tentara enam bulan. Nasir berjalan ke berbagai daerah di sekitar Bengkayang. Keluar masuk hutan, hingga masuk ke Gunung Brambang dan Nyiut. Menurutnya, banyak gerilyawan di Gunung Sungkung atau biasa disebut Sungkung Compleks.

Sulitnya medan menyulitkan operasi penumpasan. Pasukan Batalyon 641, Beruang Hitam, Singkawang, pernah terjebak banjir selama sebulan, tanpa makanan dan perbekalan di Piong San, Bengkayang. Selain itu, kesamaan pemahaman dan teori, karena PGRS-PARAKU pernah dilatih tentara RI, membuat operasi tidak berjalan dengan baik. Banyak jatuh korban di pihak tentara.

Selain itu, ada sebagian pasukan dari Kodam VII Diponegoro yang “kecewa”. Pasukan ini paling banyak korban ketika Dwikora, konfrontasi dengan Malaysia. Sebagian besar penghuni Taman Makam Pahlawan di Singkawang, berasal dari pasukan Diponegoro.

Hal ini membuat banyak muncul pasukan bayangan. Pasukan Diponegoro ini, dianggap paling sering perang dengan tentara RI sendiri. “Pasukan Diponegoro pernah melawan Batalyon 330 Kujang dan Batalyon 303 Bukit Barisan,” kata Durani.

Meski begitu, di Bengkayang inilah, banyak pimpinan PGRS terbunuh. Seperti, Tambi dan A Siong. Ada juga pimpinannya yang gantung diri, dari pada tertangkap tentara. Seperti, Ki Siong, Pan Hin, dan Lo Yan.

Kewajiban membantu tentara tak hanya berlaku pada orang tua. Seorang penduduk Desa Lumar, ketika itu berumur 12 tahun, juga mendapat kewajiban membantu tentara. Namanya Gubang. “Saat itu, kalau ada yang menolak, akan langsung dianggap pro Tionghoa,” kata Gubang.

Satu bulan sebelum diturunkan, dia diberi berbagai latihan kemiliteran di Sanggau Ledo. Bahkan, setelah sekian lama ikut militer dan dilatih, rencananya juga dikirimkan ke Tim-Tim.

Dia sering ketemu orang mati di hutan. Dia pernah membantu tentara dengan membawa mortir. Dengan senjata itu, markas PGRS di Bubuk, Bintang 12, digempur.

Selama ikut tentara, dia biasa makan-makanan kaleng. Makanan kaleng tentara Indonesia, biasanya dari malaysia. Setiap jalan ada 12 tentara dan 7-8 orang kampung. Tentara juga melakukan operasi pagar betis. Operasi ini dilakukan hingga 12 tahun.

Setelah ikut membantu tentara selama bertahun-tahun, Gubang dipercaya membawa senjata LE atau Sten Gun. Dia pernah terjebak dengan tentara dan dikepung banjir selama satu bulan. Tak ada bantuan makanan. Ia biasa ikut pasukan Bukit Barisan. Ketika ada perekrutan tentara, Gubang tak bisa masuk karena tingginya dianggap kurang. Dia tak pernah mendapatkan gaji atau pensiun.

Gubang adalah potret masyarakat perbatasan yang menjadi daerah operasi militer. Mereka harus menyerahkan hidupnya. Membantu tugas dan operasi tentara.

“Kita bantu negara secara luar biasa. Sampai tak punya waktu untuk sekolah,” kata Gubang. Dia tak sempat menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, karena ke hutan terus.(

Saturday, February 16, 2008
The Lost Generation (7)
Hidup yang Terampas

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Dia bernama Lengken. Usia 68 tahun. Orangnya tinggi besar. Rahangnya kuat dan kokoh. Wajahnya terlihat persegi. Alis matanya tebal. Di bawah alis itu, sepasang sorot mata selalu menatap. Tajam dan menghujam. Tatapannya tak mau lepas dari orang di hadapannya. Sorot mata itu, penuh selidik.

Hari itu, aku bertemu beberapa warga Dusun Molo. Aku bersikap biasa saja, menghadapi situasi seperti itu. Toh, aku tak bermaksud jahat. Aku ulukkan salam dan berjabat tangan. Tangannya lebar dan besar. Kokoh dan kasar telapaknya. Menandakan si empunya pekerja keras dan mengandalkan tenaga, dari dua belah tangan itu.


Aku jelaskan maksud kedatanganku. Arti penting wawancara dengannya. Arti penting tulisan yang sedang disusun, bagi generasi sekarang dan mendatang. Yang pasti, tulisan itu tidak bermaksud membuka luka lama. Menjelekkan seseorang, golongan, atau suatu institusi.

“Tulisan ini hanya sebuah cermin. Supaya generasi mendatang bisa berkaca dari peristiwa yang pernah terjadi,” kataku menjelaskan padanya.

Lengken bicara kepada orang di sekitarnya. Pakai bahasa Dayak. Setelah itu, bicara lagi padaku. Lalu, bicara lagi pakai bahasa Dayak. Kemudian, bicara lagi padaku. Situasi itu berlangsung hingga 15 menit lebih.

Aku bersikap santai saja. Minta izin padanya, menikmati rokok linting tembakau yang sedari tadi dihisapnya. Setelah menjumput tembakau, selembar kertas tipis pun berpindah tangan. Aku melinting dan membuat rokokku sendiri. Hemmm, nikmat juga. Walaupun rasanya agak keras dan menyedak. Sebagian besar orang di dusun ini, membuat rokok dengan cara melinting sendiri.

Kubiarkan ia bercakap dengan orang di samping kiri dan kanannya. Suaranya besar dan berat. Memenuhi seluruh ruangan. Suara itu, seolah saling berebut dengan bunyi hujan, tuk tampil paling jelas dan bisa didengar.

Sejurus kemudian, dia menoleh padaku dan mulai bicara. Aku mendengarkan. Mencatatnya di buku. Merekam dengan tape. Dan mulai bertanya. Lengken tetua kampung di Dusun Molo.

Sebagai mana penduduk di dusun itu, dia juga kebagian tugas membantu tentara, sebagai pengangkut barang. Dia pernah ikut Batalyon 328 dan 330 dari Kujang. Batalyon 328 Kujang II pernah bertugas mengejar dan menangkap DI/TII, Kartosuwiryo.

Ketika bertugas di Bengkayang, pimpinannya bernama Alex. Ada dua Kompi; Kompi A dan C. Satu Kompi berjumlah 100 orang. Kompi A ke Piong San Papan dan Kompi D ke Piong San.

Suatu ketika, Lengken dan Kompi C ke Piong San Papan. Di tengah perjalanan, pasukan bertemu dengan orang Cina. Tentara menginterogasi.
”Mau ke mana?”
“Ke Bengkayang. Ada urusan.”

Setelah digeledah, ditemukan setengah kilogram emas dan uang satu juta. Karena tidak mau mengaku dari mana dan untuk apa, uang dan emas itu, orang Cina itu direndam dalam sungai. Sangking kesalnya, seorang prajurit dari Kompi C berkata padanya.
“Sudahlah begini saja. Kalau kamu tidak mau mengaku, jari tanganmu akan kami potong satu persatu dengan pisau,” kata sang serdadu.

Lalu, salah satu jarinya diletakkan di papan kayu. Pisau sudah ditempelkan di atas tangannya. Serdadu mulai menghitung.

“Ini sebagai penutup. Satu-dua-tiga...”

Ketika mata pisau akan memotong salah satu jari, orang itu bergegas menarik tangannya. Ia menyerah. Lalu, memberitahu keberadaan dan kekuatan pasukan PGRS.
Pasukan PGRS ada 300 orang. Mereka bersembunyi di antara Bubu dan Piong San. Pimpinannya bernama Lo Chong. Dia bersenjata pistol. Wakilnya Heru. Senjatanya Thomson.

Penjagaan markas PGRS ada tiga tempat. Penjaga pertama ada di atas pohon. Jumlahnya dua orang. Penjaga kedua ada di tempat dijaga. Masing-masing dua orang.
Setelah mendengar informasi itu, pasukan siap dalam setengah jam. Pukul 17.30 wib, pasukan berangkat. Sampai di persembunyian PGRS pukul 21.00 wib. Setelah itu langsung terdengar tembakan.

Pasukan PGRS kocar-kacir. Mereka lari menuju Gunung Brambang. Di gunung inilah, banyak kekuatan PGRS berkumpul. Bahkan, ada salah satu panglimanya, Yap Cung Ho.
Untuk melumpuhkan pasukan PGRS, tentara menggunakan penyemprot api. Seluruh area disiram dengan api. Sebelum melakukan, masyarakat diminta pindah terlebih dahulu.

Selain mengajak orang Dayak setempat membantu operasi penumpasan, tentara juga mengajak para sukarelawan dari berbagai macam suku dan etnis di Kalbar. Salah satunya, Bustaman, 73 tahun. Dia kelahiran Roban, Singkawang.

Dia ikut operasi yang dilakukan tentara Kujang. Setiap melakukan operasi, jumlahnya 11 orang atau satu regu. Operasi dilakukan di Matangkuring, Bengkayang. Bersama kelompoknya, dia berangkat dari markas tentara di Samalantan, perbatasan antara Singkawang dan Bengkayang. Dari markas, biasanya jalan kaki dari pinggir jalan raya. Setelah itu, masuk ke hutan dan mencari para gerilyawan.

Bustaman menyandang senjata Thomson. Dia pernah jadi tentara Heiho, zaman Jepang. Seperti juga yang lain, Bustaman membantu operasi tentara dan tidak mendapat gaji. Hanya dapat makan saja. Tentara melakukan operasi pagar betis. Masyarakat diminta membantu. Kondisi saat itu, seolah-olah PGRS-PARAKU terlibat PKI.

Setiap operasi langsung balik ke asrama, hari itu juga. Dia ikut operasi tentara setahun lamanya. Bustaman mengenakan seragam tentara dan makan ransum dari makanan kaleng.

Dalam melakukan pengejaran terhadap para anggota PGRS-PARAKU, berbagai macam pengalaman pernah dialami. Mulai dari konflik bersenjata, hingga menemukan anak di tengah hutan. Setiap melakukan pengejaran, warga sipil seperti dirinya, selalu berada di barisan paling depan. Tentara berada di belakang.

Anggota PGRS punya pos di atas pohon. Pos berfungsi mengintai pasukan atau kedatangan tentara. Tingginya sekitar tiga sambung. Maksudnya, batang kayu yang disambung. Satu sambung sekitar enam meter.

Dalam suatu operasi, dia bersama regunya ketemu pos PGRS-PARAKU di hutan. Pos itu lebarnya sekitar empat kali sepuluh meter. Atapnya dari daun. Sempat terjadi baku tembak. Di pos itu ada sekitar 20 orang. Anggota PGRS-PARAKU banyak menjadi korban.

Selama menyusuri hutan, dia kerap menemukan mayat berserakan di hutan. Jumlahnya banyak sekali. Kalau mereka mau makan, mengalami kesulitan, karena di mana-mana ada lalat. Mayat anggota PGRS-PARAKU dibiarkan saja. Tapi, kalau mayat tentara, akan dibawa pulang dan digotong dengan tandu. Banyak dari mayat, kondisinya rusak dimakan babi hutan. Tulang belulang berserakan di berbagai tempat.

Bustaman pernah membawa tulang dengkul orang yang telah mengering. Tulang itu dibawa pulang, dan diletakkan di pinggir rumahnya.

Suatu hari menjelang maghrib, pasukannya menemukan dua anak. Lelaki dan perempuan. Usianya, delapan dan tujuh tahun. Keduanya keluar dari lubang kayu. Seluruh badan anak tergores duri tanaman hutan. Keduanya dibekali kerak nasi oleh orang tuanya.

Ketika ditemukan, ada anggota pasukan yang berniat menembaknya. Tapi, Bustaman melarang. Dia membawanya ke rumah. Ketika hendak pulang, pasukan ketemu anggota gerombolan PGRS. Bustaman langsung melepas anak itu dari gendongannya. Dia dan pasukannya mengejar anggota PGRS. Yang dikejar tak dapat ditangkap. Anggota PGRS itu berlari dengan cara merunduk seperti babi. Cepat dan gesit. Setelah itu, langsung masuk ke semak-semak hutan.

Setelah tak dapat menangkap anggota gerombolan, Bustaman mencari anak itu lagi. Sang anak ditemukan. Dia langsung membawanya ke rumah. Padahal, Bustaman sudah punya delapan anak.

Ripin, temannya membawa anak lelaki. Bustaman kebagian anak yang perempuan. Dua anak itu tak bisa bicara Indonesia. Dia juga tidak tahu namanya siapa. Akhirnya, Bustaman memberi nama Minah, padanya. Kini, anak asuhnya tinggal di Pontianak.

Bustaman mendapat penghargaan dari pasukan Kujang. Ia ditawari menjadi tentara. Namun, ia tak mengurusnya, sehingga tak bisa menjadi tentara. Uang pensiun pun tak dapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar